Header Ads

Review Buku : The Little Book of Value Investing by Christopher H. Browne

Untuk sebagian besar investor saham diseluruh dunia pasti mengenal Benjamin Graham sebagai Maha Guru Value Investing begitu juga dengan Warren Buffet sebagai contoh tersuksesnya yang merupakan salah satu orang terkaya didunia yang juga berguru dari Benjamin Graham. Tidak banyak yang mengenal tokoh misalnya seperti Charlie Munger, Walter Schloss, Peter Lynch, Joel Greenblatt, apalagi Christopher H. Browne yang sampai akhir hayatnya perusahaan yang dikelolanya Tweedy, Browne yang 'hanya' mengelola 13 Billion USD yang terlihat kecil jika dibandingkan net worth Warren Buffet. Namun begitu Tweedy, Browne juga punya peran yang sangat penting bagi Warren Buffett ketika Tweedy, Browne menjadi broker dalam proses pengakuisisian Berkshire Hathaway. Sampai sekarang anda pasti tau Berkshire Hathaway telah menjadi apa dibawah kendali Warrren Buffet. Memang Christopher H. Browne tidak membangun perusahaannya sendiri karena sebenarnya Tweedy, Browne dimulai oleh ayahnya, Howard Browne, bersama Bill Tweedy sejak 1945 kemudian ia mulai bergabung sejak tahun 1969. 

Pada artikel kali ini saya ingin membahas tentang buku The Little Book of Value Investing karya Christopher H. Browne yang selanjutnya akan saya panggil Chris Browne. Seperti yang dibahas diatas, bisa dibilang Chris Browne hampir 'seangkatan' dengan dedengkot Value Investing seperti Benjamin Graham dan Warren Buffet. Oleh karena itu prinsip dan filosofi investasinya tidak jauh dengan apa yang dianut kedua legenda itu. Walaupun begitu, buku ini tetap menarik untuk dibahas karena sangat baik dalam menjelaskan konsep dan kerangka dari value investing secara keseluruhan. Sehingga menurut saya cocok dibaca oleh yang baru saja masuk ke pasar modal dan ingin mengenal value investing lebih dalam.

1. Belilah saham seperti berburu flash sale!

Membeli sesuatu dengan harga dibawah normal membuat kita merasa itu keputusan yang cerdas. Sangatlah wajar karena semua orang pasti ingin mendapatkan 'value' yang sebanyaknya dari harga yang dibayarkan. Namun kebiasaan seperti itu tidak berlaku di pasar saham. Banyak orang merasa gagal, menyesal dan terlihat lebih buruk daripada orang lain hanya karena harga sahamnya turun. Atau ketika harga saham sedang naik, banyak juga yang merasa takut melewatkan kesempatan emas karena mereka optimis harganya akan terus naik sampai mereka menjualnya dan mendapat keuntungan (taking profit).

Seharusnya membeli saham tidaklah beda konsepnya dengan membeli barang lainnya. Ketika harganya turun, seharusnya kita berpikir manfaat atau value yang kita terima lebih maksimal daripada sewaktu harganya naik lebih tinggi. Konsep befikir seorang value investor yang paling fundamental adalah membeli secara lebih murah dibanding apa yang kita dapatkan. 'Price is what you pay for, value is what you get"

2. Carilah, maka kamu akan mendapat.

Mencari saham perusahaan yang bagus dan diharga murah bukan hal yang mudah. Sama seperti nelayan ketika mencari ikan, mereka harus diperlengkapi skill dan tools yang mempuni agar memperoleh tangkapan yang optimal. Begitupun seorang value investor wajib memiliki kemampuan dan 'alat' untuk bisa menemukan saham yang terbaik. Alat bantu yang bisa digunakan investor adalah screening saham berdasarkan rasio-rasio atau data yang penting seperti Return on equity (ROE), Return on asset (ROA), Price to Earning Ratio (PER), Price To Book Value (PBV), Debt to Equity Ratio (DER) dan masih banyak lagi tergantung selera investor.

Namun, screening saham yang terlihat bagus dan murah secara rasio saja belumlah cukup. Rasio hanyalah angka yang mengambang tanpa arti jika investor tidak tau apa 'cerita' dibalik angka tersebut. Disinilah kemampuan/skill investor diasah. Kejelian dalam membaca laporan keuangan, pemahaman akan bisnis perusahaan dan korelasinya dengan keuangan dan profitabilitas. Semakin paham dan semakin banyak mengetahui tentang seluk beluk perusahaan tersebut semakin baik. Dan juga semakin banyak perusahaan yang dipelajari, semakin luas lah pengetahuan investor sehingga memperbesar peluang ia menemukan emas.

3. Harga/Valuasi murah belum tentu diskon.

Ketika kita sudah mendapatkan daftar saham yang akan kita investasikan, telitilah sekali lagi. Walaupun valuasi saham tersebut mungkin sudah murah, tapi banyak juga saham yang bervaluasi murah yang memang pantas mendapatkan valuasi semurah alias 'murahan'. Hal itu dikarenakan beberapa hal seperti hutang yang terlalu banyak, penjualan atau kinerja laba semakin tergerus, atau industrinya memiliki prospek yang kurang cerah. Perusahaan yang memiliki kriteria tersebut biasanya sulit terapresiasi harganya kecuali manajemen berhasil membalikkan keadaan (turnarround) perusaahaan menjadi lebih baik. 

Membalikkan keadaan perusahaan tentu hal yang lebih sulit dibandingkan melanjutkan kinerja perusahaan yang masih bertumbuh ditengah industri yang baik. Sehingga valuasi sebuah perusahaan yang memang sedang bertumbuh sulit ditemukan terdiskon yang cukup dalam seperti saham yang memang 'murahan'. 

4. Simpel tapi tidak mudah.

Value Investing terdengar cukup sederhana walau tidak mudah dan terbukti sukses. Mengapa orang-orang tidak mengikuti cara ini saja? Jawabannya bukan karena tidak memiliki kecerdasan untuk itu. Tapi lebih kepada sifat atau karakter alamiah manusia sendiri. Banyak penilitian yang menemukan bahwa keputusan investasi yang buruk lebih disebabkan oleh emosi dan terbawa perasaan daripada atau tanpa bukti dan fakta data yang memiliki kalkulasi yang objektif. Banyak investor terlalu mengikuti suara-suara kebisingan (noise) dari pasar yang dimana selalu dinamis setiap hari. Padahal bisnis atau prospek suatu perusahaan tidaklah berubah se-volatil itu setiap harinya, seharusnya investor yang baik memegang teguh apa yang telah ia analsis, walaupun disaat yang sama ia tidak boleh tutup mata terhadap fakta yang mungkin dapat merubah hasil analisisnya.

Walaupun demikian, jika semua hal telah ia pelajari dan analisis dengan baik, belum tentu akan menghasilkan imbal hasil yang memuaskan dalam jangka pendek bahkan menengah. Perlu passion dan kesabaran yang tinggi untuk menjadi investor saham aktif sehingga memang tidak semua orang cocok dan bisa.


5. Investasi itu seperti lari marathon, bukan lari sprint.

Banyak orang mengira cara tercepat mendapatkan return dengan besar di pasar saham adalah dengan trading dan mengeksekusi timing yang pas. Hal itu terdengar masuk akal juga, tapi berapa banyak rasio keberhasilan trading tersebut dibandingkan kegagalannya? Jikapun anda benar-benar ahli dalam menebak bottom dan peak, support dan resistence, dan sebagainya sehingga menghasilkan cukup banyak dalam 1-2 periode/tahun, apakah secara net dalam jangka 10-20 tahun masih bisa menghasilkan return yang konsisten dan ter-compound?

Mirip seperti pengendara yang berpindah-pindah lajur dijalan tol, namun dalam 1-2 kilometer lagi anda yang tidak berpindah-pindah lanjur sebenarnya bisa menyusul atau bahkan mendahuluinya. Seperti itulah pasar, terkadang orang cenderung menghindari pasar ketika keadaan sedang buruk. Mereka keluar dari pasar dan menunggu hingga keadaan membaik. Padahal investor yang tetap dipasar atau bahkan lebih memanfaatkan situasi buruk tersebut untuk mengumpulkan saham-saham murah malah sudah mendapatkan return yang lumayan ketika pasar sudah membaik. "It's time in the market, not market timing, that counts"



Setelah membaca buku ini, saya merekomendasikan buku ini untuk investor yang baru terjun ke pasar modal dan ingin mendalami value investing karena buku ini menjelaskan kerangka berpikir value investor yang benar dan seharusnya dilakukan. Chris Browne, dengan pengalaman puluhan tahun di pasar modal Amerika Serikat, menceritakan pengalaman investasinya dengan banyak memberikan analogi-analogi sederhana agar dapat mudah dimengerti pembaca awam. Didalam buku ini juga ada tips untuk menyeleksi saham-saham yang berkualitas yang juga biasa dilakukan oleh manajer profesional. Demikianlah ulasan saya tentang buku The Little Book of Value Investing by Christopher H. Browne. Semoga bermanfaat!


Tidak ada komentar