Header Ads

Analisis Tipis-Tipis : PT Telkom Indonesia (TLKM), Sang Raksasa Telco


Sudah lama sejak terakhir kali saya menulis postingan tentang saham, terakhir kali tulisan saya yang berkaitan tentang emiten TBK adalah tentang komparasi BUMN Konstruksi. Wah, tak terasa sudah hampir 3 tahun yang lalu. Tapi saya bingung mau membahas apa, saya sedang tidak tertarik lagi membahas emiten berdividen besar karena situasi saat ini tidak memungkinkan rata-rata perusahaan untuk memberikan dividen yang sebesar biasanya. Pastinya perusahaan tersebut saat ini berjalan dengan 'Survival Mode' yang mencoba meminta pengertian dari investornya agar bisa mempertahankan usahanya tanpa banyak mengorbankan karyawan apalagi menambah utang. Memang ada sektor Consumer Goods yang bisnisnya tahan akan krisis, tapi saat ini harganya menurut saya sudah kembali ke titik normal, tidak begitu menarik untuk saya bahas lagi. Sampai saya menemui TLKM yang entah kenapa terhempas ke harga terendahnya dalam 5 tahun lebih. Sayapun pun mempelajari kembali catatan dan analisis lama saya. Apakah TLKM memang layak dihargai serendah itu atau ini kesempatan sekali dalam dekade?

Sumber data yang saya pakai untuk menulis artikel ini berasal dari Annual Report Telkom tahun 2019.


Sekilas Sejarah Telkom Indonesia

Pada awalnya PT Telkom Indonesia merupakan pecahan dari Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel). Sampai dengan tahun 1965, pemerintah memecah PN Postel menjadi PN Pos Giro dan PN Telekomunikasi yang menjadi cikal bakal PT Telkom Indonesia saat ini.

PT Telkom Indonesia menjadi perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange (NYSE) sejak tahun 1995. Per tanggal 30 September, diharga 2560 perlembar (terendah dalam 5 tahun) TLKM memiliki kapitalisasi pasar sebesar 258 triliun Rupiah. 


Kegiatan Usaha/Lini Bisnis Telkom

PT Telkom Indonesia memiliki berbagai segmen dan lini bisnis yang sesuai dengan perkembangan industri telekomunikasi. Bisa dibilang Telkom merupakan perusahan 'palu gada' (aPA LU mau Gua ADA) dibidang telekomunikasi. Berikut daftar portofolio produk.jasa yang dimiliki Telkom yang dikutip dari Annual Report tahun 2019 :



Anak Usaha Telkom

Dengan banyaknya jenis produk/jasa yang ditawarkan, Telkom juga pasti memiliki anak perusahaan yang banyak sesuai dengan segmennya masing-masing. Berikut daftar anak-anak perusahaan Telkom yang dikutip dari Annual Report tahun 2019 :



Perkembangan dan Prospek Bisnis Telkom

1. Segmen Mobile (Telkomsel)

Telkomsel merupakan provider seluler terbesar di Indonesia yaitu dengan jumlah pelanggan 171,1 juta dan pangsa pasar mencapai 59%. Pangsa pasar Telkomsel sangat jauh diatas kompetitornya seperti XL (EXCL) dan Indosat (ISAT). Hal tersebut tidak lepas dari faktor luasnya dukungan infrastruktur Telkomsel yang sinyalnya dapat menjangkau hampir seluruh daerah dan menjadi 'peace of mind' masyarakat dalam memilih operator seluler pertamanya. Saya sendiri ketika pertama kali diberikan handphone oleh orangtua nomor yang diberikan adalah nomor Telkomsel, namun karena satu dan lain hal saat ini saya setia menggunakan nomor XL sebagai nomor utama walaupun tetap memiliki nomor Telkomsel yang aktif sebagai cadangan (faktor peace of mind jika suatu saat diperlukan untuk keluar kota).



Telkomsel memiliki 5 jenis produk; simPATI, Kartu AS, Loop, By.U, dan Halo. Setiap produk tersebut memiliki target pasar yang berbeda, misalnya Halo untuk pengguna kelas premium, kaum profesional dan korporasi atau simPATI yang ditujukan untuk pengguna kelas menengah. Dari line-up produk ini, menurut saya manajemen Telkomsel cepat tanggap dalam mengikuti perkembangan jaman, bisa dilihat dari lahirnya produk By.U yang merupakan layanan prabayar serba digital end-to-end pertama yang cocok untuk gaya hidup milenial dan Gen Z yang kesehariannya dipenuhi dengan layanan digital.

Per tahun 2019, ARPU (Average Revenue Per User) Telkomsel sebesar Rp 46.000 (yang tumbuh dari Rp 41.000 di tahun 2018) merupakan yang tertinggi diantara 3 operator terbesar yaitu XL dan Indosat dengan ARPU masing-masing Rp 35.000 dan Rp 27.900. Perlu pembaca ketahui, ARPU merupakan indikator kinerja operator untuk mengukur rata-rata jumlah pendapatan per konsumen. Semakin tinggi ARPU artinya perusahaan tersebut semakin dapat meningkatkan profitabilitasnya. Oleh karena itu sejalan dengan ARPU Telkomsel yang tinggi, laba dan profit margin Telkomsel jugalah yang terbesar diantara ketiga operator terbesar.

Pertumbuhan ARPU dipengaruhi oleh faktor program registrasi kartu SIM yang menurunkan tingkat churn rate kartu SIM  dan faktor kenaikan konsumsi data sebesar 53% dari tahun 2018. Memang sejak beberapa tahun belakangan ini, saya melihat Telkomsel ikut andil dalam perang harga paket data internet antar operator. Setiap tahunnya jika diperhatikan harga per Gigabyte kuota internet Telkomsel semakin rendah. Hal ini memang harus dilakukan jika Telkomsel tidak mau kalah bersaing dengan kompetitor terdekatnya XL dan Indosat yang juga jor-joran menawarkan paket data yang semakin murah dan besar kuotanya. Tren itu pun masih berlanjut sampai saat ini. Dengan kuota yang semakin murah maka tidak heran konsumsi data pengguna Telkomsel meningkat pesat di tahun 2019.

Segmen mobile tidak semua berisi cerita indah tentang pertumbuhan yang pesat. Jangan lupakan layanan voice(telepon) dan SMS atau bisnis Legacy. Layanan ini mengalami penurunan pendapatan yang tajam sebesar 22% dari tahun 2018. Bisnis Legacy memang turun dikarenakan layanan telepon dan SMS terkanibalisasi oleh layanan data (over the top). Jaman sekarang kebanyakan orang sudah mulai nyaman berkomunikasi pesan singkat atau telepon atau bahkan video call melalui aplikasi seperti Whatsapp yang otomatis mengurangi penggunaan telepon dan SMS konvensional.


Overall, segmen bisnis mobile/Telkomsel menurut saya memiliki prospek yang cukup baik. Memang layanan legacy perlahan namun pasti akan semakin ditinggalkan. Namun lain cerita dengan segmen data yang sangat menjanjikan, dengan rate pertumbuhan yang saat ini terjadi ditambah dengan efek pandemi yang menuntut masyarakat bekerja dan bermain(hiburan) melalui internet, tentu semakin mendorong ketergantungan masyarakat terhadap kebutuhan data. Oleh karna itu tidak berlebihan kiranya jika saat ini kebutuhan dasar manusia berkembang menjadi sandang, pangan, papan dan kuota.

2. Segmen Consumer/Fixed Service (Indihome)

Banyaknya yang warganet yang membuat meme tentang Indihome tidak lepas dari faktor Indihome-lah yang memiliki pelanggan internet fixed broadband terbanyak. Dengan pertumbuhan pelanggan Indihome yang sangat pesat sebesar 37% atau 1,9 juta pelanggan dari 5,1 juta pelanggan di tahun 2018 menjadi 7 juta pelanggan di 2019, membuat pangsa pasar Indihome mencapai 86,5% per tahun 2019. Pertumbuhan tersebut tidak lepas dari agresifnya Indihome dalam memasarkan dan membangun infrastruktur pendukung hingga memperluas akses jaringan ke berbagai wilayah sehingga menjadi provider pertama atau pilihan satu-satunya bagi sebagian masyarakat untuk menikmati layanan fixed broadband


Dengan bertumbuhnya pelanggan Indihome membuat pendapatan segmen Consumer bertumbuh sebesar 27,5%. Lebih bagusnya lagi, pertumbuhan pendapatan tersebut malah diikuti dengan penurunan beban walau tipis. Ini menunjukkan ekspansi yang dilakukan sebelumnya telah membuahkan hasil dan dapat dilakukan optimalisasi terhadap infrastruktur yang sudah ada. Hasil dari segmen ini pun menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi. Kedepannya memang akan melambat tapi ruang pertumbuhan masih luas.

Segmen Fixed Broadband diprediksi menjadi salah satu motor pertumbuhan Telkom dimasa depan. Potensi pertumbuhan pelanggan yang masih terbuka lebar mengingat jumlah pelanggan internet fixed broadband di Indonesia masih rendah. Klaim Telkom, baru 15% dari jumlah rumah tangga yang sudah menggunakan layanan fixed broadband sementara rata-rata negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand sudah mencapai 40% rumah tangga. Situasi pandemi saat ini yang membuat lebih banyak orang harus bekerja dan sekolah dari rumah sehingga membutuhkan koneksi internet yang cepat juga menjadi momentum yang pas untuk Indihome berekspansi. Besarnya belanja modal yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur fixed broadband juga menjadi barrier to entry bagi pendatang baru dan kompetitornya untuk berekspansi ke wilayah lain.

3. Segmen Enterprise, Wholesale dan Lain-lain
Tidak banyak yang bisa saya bahas dari ketiga segmen ini. Walaupun kontribusi pendapatan dari segmen ini cukup besar namun secara bottom line (hasil) masih merugi. Contohnya segmen Enterprise yang didalamnya termasuk layanan solusi TIK untuk korporasi dan pemerintahan(termasuk layanan satelit), data center, dan cloud, yang menyumbang pendapatan eksternal sebesar 18,7 triliun namun mengalami rugi 2 triliun.  Selain itu segmen Wholesale juga cenderung memiliki role sebagai enabler bagi segmen lainnya karena terkait dengan lini bisnis layanan penyediaan dan pengelolaan tower dan infrastruktur jaringan sehingga segmen ini tidak dapat terlalu mengandalkan pendapatan eksternal untuk menghasilkan laba. PT Dayamitra Telekomunikasi atau Mitratel yang akhir-akhir ini diisukan akan IPO juga termasuk pada segemen Wholesale-nya Telkom.


Kinerja Keuangan TLKM


1. Balance Sheet

Pertumbuhan aset, liabilitas dan ekuitas Telkom berjalan seiring pertumbuhan perusahaan, namun pada tahun 2020 terjadi peningkatan liabilitas yang signifikan. Hal tersebut terjadi karena adanya penyesuaian PSAK yang membuat pengakuan terhadap aset/liabilitas sewa harus disesuaikan. Namun diluar itu pertumbuhan aset Telkom yang tidak tinggi dan cenderung stagnan disebabkan karena pembagian dividen payout ratio yang cukup besar beberapa tahun belakangan. Selain itu belanja modal yang harus dikeluarkan Telkom juga harus didukung oleh pembiayaan dari utang bank atau surat utang sehingga meningkatkan liabilitas.

Sebagai BUMN, tidak hanya mencari keuntungan Telkom juga ditugaskan dalam pembangunan dan pemerataan infrastruktur jaringan telekomunikasi di Indonesia. Telkom mau tidak mau menanggung beban tugas dari negara karena tidak mungkin dilakukan perusahaan lain yang memang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial seperti TLKM. Hal ini sebenarnya dapat menjadi poin plus dan negatif, plusnya Telkom pasti selalu terdepan dalam kesiapan implementasi jaringan teknologi terbaru di berbagai daerah namun negatifnya biaya belanja modal Telkom pasti selalu besar dan tidak akan bisa menjadi capital efficient company.

Penilaian penulis : A- (Neraca sudah kuat namun trend outlook mengarah negatif)


2. Profitabilitas 

Walaupun memiliki tugas yang cukup berat, TLKM juga masih dapat menghasilkan keuntungan yang lumayan besar. Pendapatan TLKM dari tahun 2010 sebesar 68,6 triliun tumbuh menjadi 135 triliun rupiah ditahun 2019 dan laba bersih tahun 2010 sebesar 11,5 triliun menjadi 18,6 triliun ditahun 2019. Bukan pertumbuhan laba yang impresif namun sudah cukup baik untuk perusahaan sebesar TLKM.

TLKM merupakan perusahaan yang menawarkan produk berupa jasa, oleh karena itu skala profitabilitas dihitung langsung ke Operating Profit Margin (OPM). OPM TLKM cukup stabil berkisar diantara 30% sampai 35%, sedangkan Net Profit Margin (sudah diadjust ke Pemilik Entitas Pengendali) berkisar antara 14% sampai 16%. Angka margin yang stabil menunjukkan manajemen berhasil menangani perubahan tren layanan atau transisi dari bisnis data ke legacy sehingga terjadi secara gradual dan tidak menggerus keuntungan terlalu dalam.

Untuk indikator ROA dan ROE, TLKM terbilang cukup superior. ROA dari tahun 2010 rata-rata double digit mencapai 10%, walaupun 2 tahun belakang agak turun menjadi 9% namun mengingat ukuran aset yang sudah sebesar 200 triliun lebih itu merupakan angka yang bagus. Begitu juga dengan ROE dengan rata-rata mencapai 22% dalam 10 tahun terakhir. Kedua indikator ini menunjukkan seberapa menguntungkannya bisnis TLKM walaupun bergerak diindustri yang bisa dibilang capital intensive.

Penilaian penulis : A (Profitabilitas sangat kuat dan trend outlook stabil)

3. Leverage

Sifat alami bisnis TLKM yang capital intensive pasti membutuhkan belanja modal yang besar tiap tahunnya. Disaat yang bersamaan, beberapa tahun belakangan TLKM juga dituntut untuk loyal memberikan dividen ke pemegang saham (termasuk pemerintah sebagai pengendali). Tidak heran jika sebagian dari belanja modal harus menggunakan pembiayaan dari utang. Hal ini tercermin dari peningkatan rasio utang berbunga terhadap ekuitas dari dibawah 40% ditahun 2017 menjadi 67% ditahun 2020 kuartal ke-2.

Walaupun secara rasio DER terlihat kurang baik, tapi dari sisi kemampuan membayar bunga, TLKM masih terlihat sangat mampu. Interest Coverage Ratio (ICR) yang sebesar 15,7 kali di tahun 2019 dan 12,1 kali ditahun 2020 menunjukkan utang yang diambil TLKM masih sangat mampu dibiayai oleh laba usahanya.  

Penilaian penulis : A- (Pengelolaan utang kuat namun trend outlook negatif)


4. Cashflow



Dari laporan arus kas 10 tahun kebelakang, kita dapat melihat bahwa arus kas dari operasi (CFO) tiap tahunnya tumbuh secara stabil (hanya 2x mengalami penurunan). CFO yang sebesar 27,7 triliun tumbuh menjadi 55 triliun dalam 10 tahun. Namun disisi lain arus kas untuk investasi juga mengalami peningkatan dari 16,5 triliun menjadi 35,7 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa investasi dan belanja modal yang dibutuhkan oleh Telkom untuk menjaga keberlangsungan sekaligus ekspansi bisnis juga bertumbuh setiap tahunnya.

Free Cash Flow (FCF) yang dihasilkan TLKM bisa dikatakan tidak bertumbuh. Kemungkinan disebabkan oleh kebutuhan belanja modal yang fluktuatif dan bisa sangat besar untuk periode tertentu. Jika anda membandingkan FCF dengan jumlah dividen yang dibagikan, bisa terlihat jelas jika TLKM beberapa tahun belakangan ini agak terlalu memaksakan dividen yang besar tiap tahunnya. Ambil contoh dividen tahun 2019 yang dibagikan ke pemegang saham pengendali dan nonpengendali  entitas anak berjumlah total 25,8 triliun padahal FCFnya hanya 17,7 triliun. Akibatnya, belanja modal (Capex) yang besar pun terpaksa harus dibiayai oleh utang (atau mungkin dividennya diambil dari utang?) dan membuat rasio DER membengkak.

Penilaian penulis : B- (Pengelolaan kas cukup baik namun trend outlook negatif)


5. Isu-isu Terkini


Selain karena harga sahamnya yang sedang anjlok, TLKM kini juga tengah disoroti karena ada wacana salah satu anak usahanya yang cukup besar akan IPO yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi atau Mitratel. Tidak hanya itu, sebelum IPO Mitratel juga mengakuisisi tower milik saudara kandungnya Telkomsel. Akuisisi itu merupakan usaha sekali mendayung tiga pulau terlampaui oleh Telkom untuk mentransformasi bisnis anak-anaknya. Pertama, akuisisi ini untuk mempersiapkan Mitratel agar memiliki portofolio tower yang terbesar dan terluas sehingga memperkuat fundamental bisnis dan menciptakan nilai tambah Mitratel dimata investor ketika IPO. Kedua, bagi Telkomsel pelepasan tower-tower ini dapat menambah dana segar untuk ekspansi bisnis dan juga lebih fokus dalam core bisnisnya sebagai provider seluler.

Secara pribadi saya menilai upaya Telkom menata kembali portofolio bisnisnya ini cukup positif. Hanya masih perlu dicermati adalah detail perjanjiannya apakah lebih menguntungkan Mitratel yang dimiliki 100% oleh Telkom atau Telkomsel yang hanya dimiliki 65% oleh Telkom. Manajemen Telkom harus berhati-hati melakukan akuisisi ini karena masih ada kepentingan pemegang saham non pengendali (SingTel) di tubuh Telkomsel agar bisa terjadi win-win deal. Per tanggal 14 Oktober 2020 Mitratel dan Telkomsel telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Bersyarat (CSPA) dimana Mitratel akan membeli 6050 unit menara milik Telkomsel senilai Rp 10,3 triliun, atau sekitar Rp 1,7 miliar per menara. Apakah fair, kemahalan atau kemurahan? Silakan riset sendiri, sudah banyak akuisisi menara yang dilakukan oleh perusahaan seperti TOWR TBIG CENT yang dapat menjadi perbandingan.


Kesimpulan 

Berdasarkan analisis diatas, maka saya dapat menarik kesimpulan dalam beberapa poin : 

1. Menurut saya TLKM memiliki lini usaha yang sangat mempengaruhi kebutuhan kehidupan orang banyak, sehingga TLKM seharusnya dapat divaluasi selevel dengan perusahaan consumer goods. Namun karena Telkom juga merupakan BUMN yang dimana Pemegang saham pengendalinya yaitu pemerintah memiliki kepentingan dalam pembangunan dan pemerataan infrastruktur jaringan telekomunikai se Indonesia, maka TLKM juga sulit untuk menjadi seperti perusahaan teknologi dan consumer yang capital efficient.

2. Walaupun sedang terjadi tren pergeseran kebutuhan masyarakat dari layanan legacy ke layanan digital (data) hal ini tidak terlalu menggerus profitabilitas TLKM. Dengan produk barunya By.U, Telkomsel juga terlihat tanggap mencari peluang dari kebutuhan generasi anak muda jaman sekarang agar bisa tetap menjaga marketshare-nya. Namun karena segmen anak muda biasanya lebih sensitif terhadap harga, TLKM juga harus mengantisi pasi kompetitornya yang juga cepat merespon strategi baru TLKM. (XL dan Smartfren sudah meluncurkan provider serba digital mereka masing-masing dengan promo yang sangat agresif)

3. TLKM memang menarik dari sisi potensi dividen yield yang tinggi, namun TLKM juga pasti akan terus menambah utang untuk memenuhi belanja modalnya. Pada suatu titik saya harap manajemen TLKM akan mengerem sedikit Dividen Payout Ratio-nya agar leverage-nya tidak semakin tinggi.

4. Valuasi TLKM saat ini secara historikal 5 tahun memang relatif murah, namun disaat yang sama efek pandemi juga terjadi pada saham-saham lain. Saya tidak bisa menjamin jika TLKM lah saham yang paling 'Value Deal' saat ini dan menjanjikan return yang paling bagus dalam jangka panjang, tapi yang jelas secara historikal saat ini TLKM berada diposisi yang lebih murah dari biasanya. Berapakah Margin of Safety-nya (MoS)? Saya tidak berminat menjelaskannya disini, masalah valuasi sangat subjektif silahkan anda kalkulasikan sendiri sesuai risk profile anda. :D

5. Untuk pertumbuhan dimasa depan, segmen mobile(terutama layanan data) dan consumer(melalui Indihome) memang cukup menjanjikan. Tapi jangan mengharapkan kedua segmen tersebut dapat mendorong pertumbuhan yang fantastis bagi TLKM. Mempertahankan pertumbuhan pendapatan high single digit sekitar 7-9% pertahun saja sudah sangat bagus untuk perusahaan seperti TLKM. Jangan berekspektasi terlalu tinggi untuk pertumbuhan, tapi ekspektasi bahwa bisnis TLKM akan tetap kuat sampai jangka waktu 10 tahun lebih lebih masuk akal.


Dislcaimer : 

Semua yang dituliskan berdasarkan riset yang penulis baca sendiri baik dari Annual Report, laporan keuangan atau materi public expose emiten terkait. Saat ini TLKM sudah ada diportofolio penulis, pendapat saya dapat menjadi bias dan subyektif dalam analisis ini. Silakan melakukan pekerjaan rumah anda sendiri sebelum memutuskan beli atau jual (DYOR). Thanks, happy investing.


Tidak ada komentar