Header Ads

Analisis Fundamental Tipis-Tipis : BCA, Mantan Bank Gagal!



Siapa yang tak kenal bank swasta nasional yang satu ini? Masyarakat pengguna jasa perbankan biasa terutama di perkotaan harusnya tidak asing dengan bank satu ini. Sangat mudah menemukan ATM atau EDC berlogo BCA di mall-mall atau minimarket disekitar kita yang hidup didaerah perkotaan. Apalagi bagi kalangan pengusaha dan investor pasti tau dan erat dengan bank ini. Bagi investor, memiliki saham BBCA seperti menu wajib didalam portofolionya. Hal ini menurut saya sangat wajar mengingat kinerja dan nama baik perusahaan ini sangat harum dikalangan investor. Tapi benarkah BBCA perusahaan yang se-wonderful company itu? 


Sejarah Singkat BBCA

Bank BCA didirikan pada tahun 1957 oleh Sudono Salim. Pada tahun 1975, bankir ulung bernama Mochtar Riady bergabung dengan BCA setelah sebelumnya meninggalkan bank yang terbesar saat itu yaitu Panin Bank. Sejak saat itu sampai 1990an, BCA berkembang dan bertumbuh hingga memiliki 450 kantor cabang dan cabang pembantu. 

Pada tahun 1998 terjadi krisis moneter yang sangat berat menimpa Asia tak terkecuali Indonesia. Pada saat itu BCA juga terkena imbasnya. Para nasabah yang panik melakukan penarikan besar-besaran sehingga BCA mengalami kesulitan likuiditas (rush). Usaha Sudono Salim dalam meyakinkan nasabahnya tidak cukup meredakan kepanikan hingga pada akhirnya BCA harus menjadi 'pasien' BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan kepemilikan saham Grup Salim pada BCA harus diambil alih oleh pemerintah.

Setelah BPPN melakukan rekapitalisasi dan restrukturisasi, hingga pemerintah sempat memiliki 92,8% saham BCA, pada tahun 2000 BCA telah dinyatakan sehat kembali. Pemerintah secara perlahan menjual saham BCA ke publik dengan melakukan IPO sebanyak 22,5% dari seluruh saham dan setahun kemudian melepas tambahan 10% lagi saham milik pemerintah. Pada tahun 2002, setelah mengalahkan Standard Charted dalam perebutan 51% saham BCA, Farindo Investment Limited didukung oleh tim Hedge Fund asal Amerika, Farallon Capital, berhasil menang dan mengenggam 51% saham BCA. Belakangan diketahui bahwa Farindo Investment Limited merupakan perusahaan cangkang milik Grup Djarum yang dikendalikan oleh Hartono bersaudara.

Pada saat itu, Grup Djarum 'hanya' perlu mengeluarkan modal Rp 5,3 triliun untuk mengakuisisi 51% BCA, namun pada saat ini (31 Oktober 2020) pada harga saham perlembar Rp 28.950 dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 713 triliun, porsi kepemilikan Grup Djarum bertumbuh menjadi Rp 363 triliun, bertumbuh 68x lipat! Saya pun berandai-andai jika saja pemerintah tidak menjual seluruh kepemilikan BCA pada saat itu (sisakan 5% sajalah) pasti kerugian dari krisis moneter pada saat itu setidaknya bisa terbayar hanya dari pertumbuhan nilai pasar BBCA.


Kegiatan Usaha BBCA

Sesuai dengan namanya, BCA merupakan bank yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman. Bank mendapatkan keuntungan dari selisih bunga pinjaman dan simpanan nasabahnya dan biaya-biaya jasa keuangan lainnya. Karena jasa atau 'barang' yang disediakan oleh bank adalah uang maka usaha perbankan hampir bisa dikatakan seperti komoditas. Semua bank pada dasarnya menawarkan jasa yang sama namun ada hal-hal yang membuat tiap bank berbeda satu dengan yang lain. 

Bagi bank, kepercayaan dari nasabah terutama pemilik usaha yang memiliki dana yang sangat besar itu sangat vital. Oleh karena itu bank wajib memberikan pelayanan terbaik dan meyakinkan nasabahnya jika dananya sangat aman di bank mereka. Jika pemilik dana mulai khawatir dengan pelayanan ataupun likuiditas bank maka bank akan berisiko ditinggalkan nasabahnya.

Begitu juga dengan BCA, tidak mau kejadian tahun 1998 terjadi kembali, manajemen BCA terlihat tidak mau kompromi dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Jika membandingkan dengan bank besar lain, kasus skandal korupsi, pembobolan ataupun kredit fiktif yang melibatkan BCA hampir tidak ada. Selain yang berkaitan dengan drama take over sampai pelepasan kembali yang dilakukan semasa periode krisis moneter, hampir tidak ada berita miring mengenai kesalahan manajemen dan operasional BCA. Berdasarkan penilaian subyektif saya, BCA-lah yang paling sukses menerapkan GCG dan prinsip kehati-hatian diantara bank besar nasional. Hal ini juga tercermin dari kinerja perusahaannya yang cemerlang yang akan dibahas selanjutnya.

Anak Usaha

Sebagai bank nasional terbesar, BCA memiliki beberapa anak usaha untuk memenuhi setiap kebutuhan nasabahnya. Per 31 Desember 2020 Bank Royal telah dikonsolidasikan kedalam struktur BCA, sebagai informasi Bank Royal baru saja diakuisisi oleh BCA pada akhir tahun 2019 dan rencananya Bank Royal akan dijadikan bank digital oleh BCA.


Perkembangan dan Prospek Bisnis BCA

Secara umum berbicara tentang prospek bisnis perbankan, maka sangatlah lekat dengan ekonomi secara keseluruhan. Bank memiliki layanan seputar keuangan, yang menurut saya sepanjang manusia memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, maka layanan jasa perbankan akan tetap dibutuhkan. Pertumbuhan dimasa depan bank juga sangat tergantung dengan kondisi ekonomi suatu negara, jika tetap kondusif dan stabil maka semakin baik untuk perbankan juga berlaku sebaliknya. Apalagi Indonesia merupakan negara berkembang maka industri keuangan harus mampu memenuhi kebutuhan pembangunan negara yang amat besar dengan tetap menjaga stabilitas.  

Pandemi Covid-19 tahun 2020 ini memberikan tantangan yang luar biasa bagi seluruh sektor terutama perbankan. Dengan menurunnya aktivitas masyarakat, maka bisnis terancam terkontraksi. Hal ini cukup mengkhawatirkan bagi bisnis yang masih memiliki pendanaan berupa pinjaman dari bank. Beruntungnya pemerintah turut aktif dalam memberikan kebijakan melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Kebijakan Restrukturisasi Kredit dari OJK mendukung restrukturisasi besar-besaran terutama terhadap UMKM. Hal ini sangat membantu dunia usaha dalam 'memperpanjang nafas' dimasa sulit ini. Sampai dengan kuartal 3 2020, BCA telah melakukan restrukturisasi sebanyak 90,7 triliun atau setara 15,8% dari total kredit. Jumlah ini masih relatif lebih kecil dibandingkan bank besar lain yang telah melakukan restruktursiasi sebanyak lebih dari 20% dari total kredit mereka.

Selain situasi ekonomi, perbankan juga dihadapkan dengan disrupsi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) yang akhir-akhir ini semakin marak. Fintech pun ada bermacam-macam mulai dari layanan dompet/pembayaran digital hingga P2P Lending. Bank-bank pun jika tidak mau termakan oleh disrupsi harus pandai memposisikan diri, malah lebih baik jika bank konvensional dapat berkolaborasi dengan fintech. Dan memang kenyataanya fintech justru didukung oleh bank melalui Venture Capital (VC) milik mereka, sebagai contoh BCA melalui PT Central Capital Ventura, yang menginvestasikan sejumlah dana untuk disuntikkan kepada beberapa startup fintech yang memiliki potensi dimasa depan. Tidak hanya itu BCA juga berencana meluncurkan bank digital yang menyasar ritel dan UMKM di awal tahun depan. Cita-citanya, bank digital ini akan menjadi seperti WeBank milik Tencent yang sangat sukses dalam 5 tahun terakhir di China.


Kinerja BCA

1. Neraca (Balance Sheet)


Bagi bank, neraca sangatlah penting karena dari neracalah bisa terlihat kualitas dari sebuah bank. Aset merupakan sumber pendapatan bank, dan liabilitas serta ekuitas merupakan sumber daya penopang yang dimiliki bank untuk tetap menjalankan usaha perbankan. Secara garis besar, aset pada bank terdiri atas kredit atau pinjaman yang diberikan oleh bank, investasi (pada surat utang, saham, reksadana), aset tetap, dan kas (baik yang ditempatkan di bank itu sendiri, Bank Indonesia ataupun bank lain). Dan liabilitas pada bank biasanya yang terbesar adalah dana pihak ketiga (dana yang dihimpun dari masyarakat) dan beberapa jenis liabilitas yang kecil-kecil seperti efek-efek yang diterbitkan bank. Serta ekuitas adalah modal dari bank itu sendiri.

Untuk menilai kualitas aset bank terdapat satu indikator yang cukup powerful dan dapat digunakan untuk membandingkan kinerja antar bank, indikator tersebut adalah non-performing loan (NPL). NPL terdiri atas total dari 3 jenis kredit yang kolektabilitasnya digolongkan kedalam kategori 'kurang lancar', 'diragukan', dan 'macet'. Rasio NPL pada perbankan sangat vital karena bisa mempengaruhi profitabilitas dari bank tersebut. Jika NPL meningkat maka kemungkinan besar bank harus melakukan peningkatan pencadangan atas kredit yang gagal tersebut. Jika terlalu banyak NPL maka keuntungan bank akan tergerus bahkan bisa rugi. Oleh karena itu bank harus menjaga NPL pada tingkat serendah mungkin. Standar umum NPL bank adalah sekitar 3% dari total kredit yang diberikan, dan menurut OJK jika NPL (secara netto) bank sudah melewati 5% maka akan dimasukkan kedalam pengawasan intensif karena level NPL Nett 5% dinilai OJK dapat membahayakan usaha perbankan.


Sejak tahun 2007, NPL BCA secara historikal tercatat sangat rendah, berkisar antara dibawah 1% bahkan dimasa pandemi seperti saat ini masih bisa dijaga dibawah angka 2%. Perlu diketahui angka NPL yang saya hitung ini adalah Gross NPL dimana angka ini belum dikurangi dengan pencadangan yang telah dilakukan sebelumnya. 'Sependek' pengetahuan saya, jika dibandingkan dengan bank lain kinerja NPL BCA merupakan yang terbaik. Begitu juga dengan pencadangan kerugian penurunan nilai kredit yang dilakukan BCA selalu jauh diatas 100% dari nilai NPL (NPL Coverage Ratio), hal ini dilakukan guna memperisapkan memburuknya kualitas kredit (NPL) dimasa depan berdasarkan asumsi dan penilaian dari manajemen bank tersebut. Hal-hal ini merupakan salah satu indikator bahwa BCA sangat prudent dan hati-hati dalam menyalurkan kredit. 


Dari sisi liabilitas yang dimana komponen terbesarnya adalah Dana Pihak Ketiga atau DPK, kita dapat mengetahui kemampuan bank dalam menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan komposisi penyusun DPK. DPK dapat dikategorikan menjadi 3 jenis;  Giro (Current Account), Tabungan (Saving Account), dan Deposito berjangka. Dari ketiga jenis DPK tersebut Giro dan Tabungan lah yang paling 'murah' bagi bank karena biaya bunga yang harus 'dibayar' jauh lebih rendah ke pemilik dana daripada deposito. Oleh karena itu indikator rasio CASA (Current Account and Saving Account) terhadap total DPK menjadi indikator yang bagus untuk menilai kemampuan bank menghimpun dana masyarakat. Jika CASA semakin tinggi maka cost of fund dari bank tersebut pun lebih rendah, berlaku juga sebaliknya. Semakin bank bisa menekan cost of fund, maka bank dapat menawarkan bunga kredit yang lebih kompetitif dan jika bank dapat mengendalikan NPL maka tingkat profitabilitas bank semakin baik juga. CASA yang dimiliki BBCA terbilang tinggi yaitu diangka 76% dan sejak lama berkisar antara 75% sampai 80%. Ini menunjukkan BCA merupakan bank transaksional yaitu bank yang lebih digunakan oleh nasabahnya untuk bertransaksi baik untuk keperluan bisnis/usaha atau individu ketimbang untuk menabung.

Indikator Loan to Deposit Ratio (LDR) juga menjadi acuan penting dalam mengukur tingkat likuiditas sebuah bank. Jika LDR 100% artinya semua dana yang disimpan nasabah oleh bank disalurkan semuanya menjadi kredit. Jika LDR terlalu tinggi maka likuiditas bank akan semakin ketat, artinya jika sewaktu-waktu nasabah membutuhkan dana untuk ditarik, maka bank akan kesulitan memenuhi permintaan deposan tersebut. Jika LDR terlalu rendah pun bank bisa menjadi tidak efisien karena bank terlalu banyak dana yang mengendap dan juga tidak menguntungkan bagi bank. Oleh karena itu bank harus menyeimbangkan LDR pada titik optimumnya. Berdasarkan peraturan BI, LDR (atau LFR) ditargetkan berada berkisar antara 78% s.d. 92%. Namun per 31 September 2020, LDR BBCA berada diangka 73,3% yang artinya dibawah peraturan yang ditetapkan BI. Hal ini bisa disebabkan karena menumpuknya dana masyarakat yang 'parkir' di BCA dan disaat yang bersamaan BCA masih sangat berhati-hati menyalurkan kredit sehingga pertumbuhan kredit pun minus dan membuat LDR anjlok. Hal ini tidak serta merta pertanda buruk, malah bagi saya cukup baik karena jika LDR rendah, maka bank memiliki ruang yang lebih luas untuk menyalurkan kembali kredit ketika perekonomian sudah pulih kembali. Menurut saya penyaluran kredit BCA bisa kembali tumbuh pesat setelah pandemi ini mulai berangsur reda.

2. Rentabilitas/Profitabilitas (Laba Rugi)


Jika bank memiliki komposisi aset kredit dan dana pihak ketiga yang bagus hampir bisa dipastikan bank tersebut memiliki profitabilitas yang baik juga. Menurut saya, indikator paling sakti untuk mengukur tingkat profitabilitas sebuah bank adalah Return on Asset (ROA). Dengan karakter balance sheet yang dapat memiliki yang sangat leverage tinggi, menurut saya ROA lebih pas dari pada ROE. Jika sebuah bank mau terlihat konsisten profitabilitasnya secara ROE, maka manajemen dengan mudah 'mengakalinya' dengan 2 cara yaitu meningkatkan leverage (memberikan kredit lebih agresif) atau menekan pertumbuhan ekuitas dengan cara membagikan dividen dengan jumlah lebih besar. Namun dengan indikator ROA, tidak ada cara lain untuk mengakalinya selain dengan menyusun portofolio aset yang ciamik dan komposisi dana pihak ketiga yang murah!

Ini terbukti dari kinerja BBCA dimana tren ROA tetap stabil diangka 2,5% sampai 3,1% sementara tren ROE malah menurun dari angka 25% ke 15%. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekuitas BBCA lebih cepat daripada pertumbuhan labanya. Ekuitas dapat bertumbuh lebih cepat dari laba karena Dividend Payout Ratio (DPR) BBCA tiap tahunnya cukup rendah, berkisar 20-30% dari total laba. Dengan tingkat DPR 30% jika ROE 20% maka return yang dikeluarkan menjadi dividen adalah 6% dan sisanya 14% diinvestasikan kembali ke bisnis, sehingga jika bank mau mempertahankan ROE 20% maka tahun depan laba harus bertumbuh 14% lagi, sementara itu BBCA tidak mampu bertumbuh secepat itu dalam jangka panjang dan semua bank juga mengalami hal yang sama. Bank lain mungkin mampu mempertahankan kinerja ROE karena DPR-nya lebih tinggi, namun membuat bank bisa mengkompensasi target pertumbuhan labanya sehingga lebih mudah mempertahankan level ROE yang sama. Bagi investor, hal tersebut mempunyai sisi plus minus, ada yang suka dengan dividen yang besar dan tidak masalah mengorbankan pertumbuhan bisnis tetapi ada juga yang lebih mengutamakan pertumbuhan bisnis sehingga tidak perlu banyak mengeluarkan dividen agar lebih banyak lagi modal yang direinvestasikan. It's up to you!

Terdapat indikator rentabilitas lain seperti Net Interest Margin (NIM) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), namun menurut saya untuk bank rasio ROA sudah sangat cukup menggambarkan kinerja bank dari waktu ke waktu.

3. Cashflow



Untuk emiten bank, laporan arus kas dapat menjadi pendukung atas hipotesa yang kita lakukan sebelumnya pada analisis neraca. Hal ini bisa dipahami karena bisnis bank yang pada dasarnya adalah 'bisnis kas', sehingga komponen pada neraca bank mungkin 90% berbentuk kas atau arus kas.

Berdasarkan laporan arus kas dari aktivitas operasional (CFO), sampai dengan kuartal 3 tahun 2020 BBCA mencatatkan penurunan kredit yang diberikan sebanyak 19 triliun. Hal ini dapat diartikan BBCA lebih banyak menerima kas dari pengembalian kredit, bunga atas kredit, dan dana yang disetor deposan dibandingkan total kas yang dikeluarkan untuk membayar bunga atas simpanan deposan, pengeluaran beban operasional dan dana yang disalurkan menjadi kredit. Tingkat LDR yang anjlok pun dapat dikonfirmasi dari tren arus kas dari aktivitas operasional ini. Surplus dari kredit tersebut juga ditempatkan ke efek-efek yang dibeli dengan janji dijual kembali pada CFO dan efek-efek dengan tujuan investasi pada arus kas dari aktivitas investasi (CFI).

Pada CFI, terdapat angka arus kas untuk perolehan aset tetap dimana pengeluaran kas perusahaan untuk mengadakan aset tetap seperti perlengkapan dan peralatan kantor atau membangun kantor cabang baru (bisa CAPEX atau OPEX). Angka arus kas untuk perolehan aset tetap jarang lebih dari 3 triliun dalam setahun. Rata-rata juga hanya 2,4 triliun dalam 10 tahun kebelakang. Ini menunjukkan biaya yang dikeluarkan BCA untuk menjaga produktifitas aset tetap dan jika perlu berekspansi untuk meningkatkan jaringan/layanan juga tidaklah terlalu besar dan dapat dimanage dengan stabil. Bisa dikatakan bisnis bank seperti BBCA tidak 'capital intensive' seperti emiten perkapalan atau telekomunikasi.

4.  Valuasi

Dengan rekam jejak kinerja yang ciamik, tidak heran BBCA dihargai paling mahal diantara bank-bank besar lain. Bahkan market cap-nya lebih besar dari bank lain yang memiliki laba dan ekuitas yang lebih besar. Ketika bank lain dihargai setara PE belasan, BBCA bisa dihargai lebih mahal 2x lipat di PE 20an bahkan sempat hampir mencapai 30. Sebaik apapun kinerja perusahaan, bukan berarti perusahaan tersebut bisa dihargai setinggi-tingginya, tetap selalu ada batas kewajaran. Pada saat pasar crash bulan Maret lalu harga BBCA juga ikutan anjlok, secara objektif jika berasumsi kinerja BCA akan tetap baik setelah efek pandemi ini berakhir BBCA tentu terlihat murah. Namun disaat yang bersamaan banyak juga emiten lain yang harganya anjlok. Mungkin berdasarkan penilaian sebagian investor banyak emiten lain yang lebih menjanjikan margin of safety yang lebih tinggi. Namun ada juga yang berasumsi tidak perlu memberikan MoS yang besar untuk Wonderful Company seperti BBCA salah satunya. Kedua pendapat itu tidak ada yang mutlak benar ataupun salah. Disinilah seninya dalam berinvestasi. 

Sumber : Aplikasi Stockbit

Bagi saya sangatlah wajar BCA dihargai lebih mahal dibandingkan bank lain. Jika berekspektasi dan mengharapkan valuasinya setara dengan bank kompetitornya, maka artinya anda mengharapkan terjadi degradasi kinerja atau prospek di BCA yang signifikan sehingga menjatuhkan ekspektasi pasar terhadap kinerjanya dimasa depan. Atau anda berharap kinerja bank kompetitor bisa membaik menyamai kinerja BCA saat ini. Yang mana menurut anda lebih mungkin?


Kesimpulan

Berdasarkan analisis diatas, maka saya dapat menarik kesimpulan dalam beberapa poin :

1. Dengan mempertahankan kualitas aset yang dimiliki saat ini, saya yakin BCA dapat keluar dari krisis pandemi ini jauh lebih baik daripada bank kompetitornya. Ini sudah ditunjukkan dengan jumlah restrukturisasi kredit yang dilakukan relatif lebih kecil dan pencadangan yang dilakukan tidak separah kompetitornya.

2. Pertumbuhan BBCA dimasa depan menurut saya hanya akan bertahan paling baik diangka 15% atau setara dengan ROE-nya jika BCA mempertahankan Dividen Payout Ratio seperti saat ini. Angka itu pun cenderung akan turun dalam jangka panjang. 

3. Inovasi Bank Digital yang merupakan pertama di Indonesia juga perlu dipertimbangkan. Jika inovasi ini berhasil, maka akan berpotensi menjadi mesin pertumbuhan yang baru dimasa depan. Walaupun jika gagal kerugian yang ditimbulkan tidaklah terlalu dalam (total dana yang sudah diinvestasikan untuk Bank Royal 'hanya' sekitar 1 triliun untuk akuisisi ditambah 1,5 triliun dalam bentuk fasilitas pinjaman).

4. Munculnya fintech seharusnya tidak mengganggu prospek perbankan kedepannya, justru dengan adanya fintech perbankan didorong untuk lebih berinovasi dan malah berkolaborasi dengan fintech.


Disclaimer : 

Semua yang dituliskan berdasarkan riset yang penulis baca sendiri baik dari Annual Report, laporan keuangan atau materi public expose emiten terkait. Saat ini BBCA sudah ada diportofolio penulis, pendapat saya dapat menjadi bias dan subyektif dalam analisis ini. Silakan melakukan pekerjaan rumah anda sendiri sebelum memutuskan beli atau jual (DYOR). Thanks, happy investing.

Tidak ada komentar