Cara Saya dalam Memilih. Menyesal Kemudian? (UNIC vs TLKM)
www.freepik.com |
Kalimat yang saya highlight sebenarnya sudah sempat terpikirkan sekitar menuju akhir tahun 2020 lalu, dimana pandemi COVID-19 hype-nya sudah tidak sekuat awal tahun, dimana mengakibatkan bursa sampai crash. Selain karena kebijakan The Fed yang agresif dalam quantitative easing, kabar mengenai vaksin juga membuat optimisme pasar kembali. Ini semua tercermin dari harga saham yang sudah kembali menanjak hampir mendekati era pre-Covid.
Karena pilihan saham-saham bagus yang harganya bargain semakin terbatas, kala itu saya perlu berpikir cukup keras untuk mencari apakah masih ada value stock yang tersisa. Sampai disuatu ketika saya menemukan saham UNIC yang memproduksi bahan baku pembuatan sabun yaitu Alkylbenzene (AB). Menurut saya seharusnya perusahaan ini memang aji mumpung dimasa pandemi ini. Permintaan bahan baku sabun pasti meningkat ditengah kebutuhan masyarakat untuk hidup lebih bersih. Apalagi bahan baku pembuatan Alkylbenzene itu berasal dari produk turunan minyak bumi yang disaat bersamaan sedang anjlok harganya. Kombinasi yang sangat menguntungkan!
Kondisi keuangan UNIC juga cukup sehat. No Debt dan arus kas konsisten positif. Memang dari segi profitabilitas biasa saja dan cenderung sangat tipis. Gross Profit Margin (GPM) sering kali berada diangka single digit dan cukup volatil tiap tahunnya. Pertumbuhan revenue pun cenderung stagnan, kenaikan dan penurunan revenue tiap tahunnya kemungkinan besar diakibatkan fluktuasi harga bahan baku utamanya yang berasal dari minyak bumi. Ini mengindikasikan produk AB UNIC tidak memiliki value added yang tinggi.
Setelah merenung dan berpikir cukup panjang, saya membatalkan niat membeli UNIC. Disaat itu harganya berkisar 3800-4000 kira2 saat itu PER 7-8 dan PBV masih 0,6, yang menurut saya sudah cukup murah. Namun disaat yang bersamaan saham TLKM juga sedang ambles dan menurut saya juga cukup bargain. Setelah cukup panjang menganalisa plus dan minus kedua perusahaan yang karakteristiknya sangat berbeda ini, sisa cash yang ada di RDN itu saya pakai untuk akumulasi TLKM.
Pertimbangan utama saya waktu itu adalah;
1. UNIC memang sangat diuntungkan oleh adanya anomali seperti pandemi. Namun ketika situasi sudah normal kembali, maka posisi UNIC dalam rantai bisnisnya akan kembali pada posisi yang tidak banyak memiliki bargaining power. UNIC bukanlah manufaktur yang membeli bahan baku berupa komoditas dan dapat menjual produknya dengan branding dan dengan harga tinggi. Ini ditunjukkan dengan track record profit margin UNIC yang cukup tipis. Memang UNIC adalah satu-satunya produsen AB di Indonesia, namun jika UNIC memaksakan margin yang tinggi maka harga produknya pun menjadi tidak kompetitif dan customer bisa memilih untuk membeli dari kompetitor melalui impor, atau malah mereka akan memilih membangun pabrik penghasil AB sendiri karena konsumen UNIC adalah grup-grup usaha raksasa dan punya kekuatan finansial yang cukup untuk melakukannya.
2. TLKM dikala pandemi memang cukup diuntungkan karena masyarakat dipaksa untuk WFH atau School from home sehingga penggunaan internet pasti melonjak. Namun demand tersebut harus sedikit terkompromi dengan subsidi dan penurunan tarif. Tapi potensi pertumbuhan disektor broadband seperti Indihome masih cukup besar. Dengan coverage area terbesar dibandingkan kompetitornya, dan potensi jumlah rumah dan ekonomi masyarakat yang terus bertumbuh, saya lebih yakin akan pertumbuhan jangka panjang (walau mungkin agak slow growth) TLKM dibandingkan UNIC yang sudah stagnan.
Chart diambil dari website Indopremier |
Mari kita kembali ke waktu saat ini, ke awal bulan Juni 2021, dimana harga saham UNIC perlembarnya mencapai 9000 sementara TLKM masih berkutat di 3200-3500an. Sebenarnya ada sedikit terbesit penyesalan. "Andai saja dulu beli UNIC dan taking profit lalu modal tersebut saya alihkan ke TLKM yang saat ini belum naik banyak dari Oktober-November tahun lalu, maka saya bisa mendapatkan jumlah saham yang lebih banyak." Hahaha, memang gampang sekali ya melihat kebelakang.
Saya teringat kembali dengan kutipan Howard Marks tentang bagaimana menilai sebuah keputusan.
“The correctness of a decision can’t be judged from the outcome. Nevertheless, that's how people assess it. A good decision is one that’s optimal at the time it’s made, when the future is by definition unknown. Thus, correct decisions are often unsuccessful, and vice versa.”- Howard Marks, The Most Important Things : Uncomon Sense from Thoughtful Investor
Menurut saya, berdasarkan pertimbangan yang ada disaat saya mengambil keputusan sudah cukup matang, walaupun saat ini kondisinya terbalik dan diluar dari yang saya perkirakan, sepertinya saya tidak perlu menyesalinya.
Bagaimana menurut anda, jika anda diposisi seperti saya, keputusan apa yang anda pilih? Dan apakah ada penyesalan jika ternyata hasilnya (sementara) tidak sesuai harapan anda? Silakan berdiskusi dikolom komentar.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk merekomendasikan saham-saham yang disebutkan dalam tulisan ini. Harap lakukan analisis anda sendiri terlebih dahulu. Agar tidak menyesal belakangan.
Hahaha, terima kasih. Sharing ini udah cukup bagus kok di blog ini saya suka
BalasHapus