Header Ads

Cara Memilih Metode Valuasi Saham

Ilustrasi dari freepik.com

Ketika pertama kali mempelajari valuasi, kita sebagai investor pasti bingung karena ada banyak sekali metode yang tersedia. Ditambah istilah, rasio, rumus dan angka-angka yang membuat valuasi seolah terasa rumit. Memang ada cara valuasi yang rumit dan memakan waktu untuk menghitungnya, tapi ada juga yang cukup sederhana. 

Namun, tidak ada  metode valuasi yang sempurna. Semua metode valuasi punya kelebihan dan kelemahan. Satu metode valuasi belum tentu cocok untuk semua jenis usaha atau perusahaan. Dalam satu perusahaan pun penggunaan beberapa metode valuasi bisa menghasilkan angka yang berbeda. Bahkan, dengan metode valuasi yang sama, kalkulasi dari dua orang dapat menghasilkan angka yang berbeda karena asumsi yang dimasukkan berbeda. Rumit ya? Jangan khawatir, karena bisa akan lebih rumit lagi hahaha.. 

Valuasi itu bisa jadi rumit, tapi sebenarnya kenapa sih harus melakukan valuasi? Kenapa nggak langsung beli saja, asal sahamnya bagus pasti jangka panjangnya akan naik juga kan? Memang ada benarnya, tetapi jika saham yang dibeli terlalu mahal, maka imbal hasil investasi tidak akan optimal. Padahal kita sudah mengeluarkan effort yang cukup banyak untuk mempelajari perusahaan tersebut. Oleh karena itu sebagai value investor kita harus mencari saham yang bagus dan juga murah (atau setidaknya wajar), dan berikut adalah 2 kategori utama metode valuasi.

1. Metode Valuasi Relatif (Relative Valuation)

Valuasi Relatif adalah cara valuasi yang membandingkan suatu perusahaan berdasarkan metrik/rasio tertentu. Rasio tersebut contohnya PER (Price to Earning Ratio), PBV (Price to Book Ratio), EV/EBITDA (Enterprise Value to Earning Before Interest Tax Depreciation and Amortization), PCFR (Price to Cashflow Ratio) dan sejenisnya yang menggunakan komponen dari harga pasar (price).

Metode valuasi ini merupakan yang paling populer dikalangan investor awam kebanyakan. Hal ini dikarenakan penggunaannya yang simpel, mudah dan biasanya sudah disediakan disetiap aplikasi penyedia data keuangan saham. Contohnya pada aplikasi RTI Business sudah tersedia PER, PSR, PBV, dan PCFR.

Namun penggunaan yang mudah tak lantas membuat angka valuasi ini bisa langsung kita terima begitu saja. Setiap rasio ini bisa memiliki makna yang berbeda yang membuat penggunaannya juga secara spesifik agak berbeda. Tidak semua rasio ini tepat guna jika digunakan untuk semua jenis perusahaan.

Misalkan Price to Earning Ratio tidak bisa digunakan untuk perusahaan yang belum mencetak laba bersih (earning). Entah itu karena masih dalam proses ekspansi besar-besaran atau dalam situasi industri lesu sehingga perusahaan berjalan dalam 'survival mode' sembari menunggu saatnya untuk 'turnarround'. Untuk jenis perusahaan tersebut, anda bisa menggunakan Price to Cashflow Ratio jika perusahaan tersebut masih menghasilkan aruskas operasi yang positif atau Price to Book Ratio jika mempunyai nilai aset yang cukup signifikan setelah proses 'penyesuaian'.

Jika perusahaan tersebut menghasilkan laba, anda dapat menggunakan PER. Tetapi pertanyaannya, bagaimana cara menggunakannya agar dapat menghasilkan angka valuasi nilai wajar perusahaan? Berapa PER yang wajar? Sebelum saya bahas, saya asumsikan anda sudah memahami cara perhitungan rasio sederhana seperti PER dan PBV, jika belum anda boleh baca artikel saya mengenai valuasi dasar terlebih dahulu. 


Harga 'Wajar'

Kewajaran dari sebuah nilai saham dipengaruhi 2 faktor utama yaitu kinerja perusahaan yang dinilai dan preferensi penilainya sendiri. Kinerja perusahaan sangat mempengaruhi valuasinya. Perusahaan yang penjualannya sedang bertumbuh kencang, atau labanya semakin tinggi biasanya dihargai lebih tinggi daripada perusahaan yang sudah stagnan pertumbuhannya. Perusahaan yang manajemennya sangat menerapkan GCG biasana dihargai lebih tinggi daripada yang terkenal kurang menerapkan GCG. (Namun, ingat selalu ada pengecualian karena pasar kadang 'tidak waras' haha)

Cara menentukan nilai wajar saham berdasarkan metode valuasi relatif menurut saya bisa dibagi 2. Pertama, membandingkan rasio satu perusahaan dengan perusahaan lain yang mirip atau sejenis. Jika anda akan melakukan valuasi perusahaan consumer goods, maka carilah perusahaan yang produk dan model bisnisnya semirip mungkin. Memang tidak ada perusahaan yang benar-benar mirip, misalnya ICBP dengan MYOR yang sama-sama menjual produk makanan dan minuman sehari-hari, tapi ICBP sangat mengandalkan mie instan sebagai penjualan utamanya, dan MYOR mengandalkan kopi instan.

Kedua, membandingkan rasio suatu perusahaan berdasarkan sejarahnya. Jika sulit mencari perusahaan pembanding, maka kita bisa menggunakan track record valuasi perusahaan itu sendiri. Dengan cara ini, anda juga harus memahami perbedaan kondisi perusahaan ini beberapa tahun lalu dengan yang sekarang. 


Dulu mungkin kita harus menghitungnya manual, tetapi sekarang anda bisa cek dari aplikasi seperti Stockbit. Anda bisa menggunakan cara pertama dan kedua secara bersamaan.

Kelemahan Valuasi Relatif

Metode valuasi relatif memang mudah digunakan, namun juga terdapat kelemahan besar. Pertama, metode ini memperhitungkan komponen harga sehingga sangat sensitif dengan sentimen atau noise pada pasar. Harga saham dapat berubah sewaktu-waktu, entah itu karena berita atau pergerakan dana yang besar, tanpa perubahan fundamental bisnisnya. Perubahan harga ini juga bisa terlihat tidak rasional. Terkadang ada perusahaan yang sedang membukukan pertumbuhan laba sahamnya stagnan, sementara yang sedang merugi harganya tetap naik.

Kedua, valuasi relatif hanya memberikan gambaran cepat dan kasar. Angka-angka kewajaran metode valuasi ini dapat dihasilkan dari perbandingan dan 'rule of thumb' alias angka praktis yang berdasarkan pengalaman. Bagi sebagian investor angka ini belum memberikan makna yang memuaskan. Oleh karena itu valuasi (dengan metode apapun) harus berdasarkan story dari bisnis perusahaan  


2. Metode Valuasi Absolut (Absolute Valuation)

Valuasi Absolut adalah cara valuasi yang menggunakan nilai 'intrinsik' dari suatu perusahaan. Nilai intrinsik ini diperoleh dengan cara memperhatikan aset, dividen, arus kas, dan pertumbuhan bisnis suatu perusahaan tanpa memperdulikan perusahaan lain. Metode valuasi absolut ada berbagai macam seperti Discounted Cashflow (DCF) dan Asset Based Model.

Asset Based Model adalah cara valuasi yang memperkirakan nilai perusahaan berdasarkan nilai wajar/nilai pasar dari aset yang dimiliki perusahaan tersebut. Karena mengutamakan nilai aset, maka model valuasi ini cocok untuk perusahaan yang memiliki jumlah aset yang signifikan atau asset-heavy company, atau juga sangat cocok untuk perusahaan dibidang properti. Sebaliknya, model valuasi ini kurang cocok untuk light-asset company karena nilai sesungguhnya perusahaan tersebut bukan berasal dari aset fisiknya tetapi dari bisnis model, brand, atau hak cipta yang dimilikinya (intangible asset) dan aset tak berwujud seperti itu sulit dinilai harga wajarnya oleh awam.  

Discounted Cashflow (DCF) adalah cara valuasi yang mengestimasikan nilai wajar berdasarkan ekspektasi arus kas dimasa depan. DCF melakukan estimasi arus kas dimasa depan kemudian menghitung present value dari arus kas tersebut sesuai dengan discount rate yang diinginkan.

Discount rate yang digunakan dalam perhitungan DCF dapat sangat berbeda tiap emitennya tergantung dengan tingkat risiko bisnisnya dan/atau imbal hasil yang investor harapkan terhadap risiko yang ia tanggung dari bisnis tersebut. Arus kas dimasa depan juga dapat diestimasi apabila investor telah mempelajari dan memahami prospek bisnis tersebut kedepannya.

Kelebihan analisis DCF

1. Semua jenis aset yang mampu menghasilkan arus kas dimasa depan dapat dihitung nilai wajarnya dengan metode DCF. Baik itu saham perusahaan terbuka atau private, obligasi/surat hutang, properti, atau bahkan proyek jangka panjang. Dengan metode DCF anda dapat membandingkan imbal hasil investasi di instrumen yang berbeda. Misalnya anda dapat membandingkan lebih menguntungkan investasi koskosan atau surat hutang.

2. Tidak terpengaruh sentimen pasar. Berbeda dengan valuasi relatif, DCF tidak memasukkan komponen harga sama sekali kedalam perhitungan. Hal ini membuat hasil perhitungan DCF bebas dari noise atau hiruk pikuk kondisi pasar.

Kelemahan DCF 

1. Angka-angka yang diperhitungkan dalam DCF penuh dengan asumsi, sehingga hasil dari perhitungan kualitasnya ditentukan dari asumsi yang dimasukkan. Jika analis memasukkan angka yang tidak realistis dan tidak sesuai dengan kondisi fundamental yang ada, maka hasil dari perhitungan pun menjadi tidak realistis. Istilahnya garbage in garbage out.

2. Pada prinsipnya perhitungan DCF kita menebak/memprediksi arus kas dimasa depan, maka besar kemungkinan asumsi yang dimasukkan akan salah atau setidaknya tidak akurat. Untuk mengkompensasi ketidakakuratan tersebut, maka dibutuhkan 'margin of safety'atau MoS.

3. Asumsi dalam perhitungan DCF sangat mudah untuk bias. Hasil dari perhitungan DCF antar orang bisa sangat berbeda. Subyektivitas sangat berperan terhadap asumsi. Ada orang yang cenderung optimis karena memiliki pengetahuan dan insight yang lebih dan ada yang pesimis karena kurang dalamnya pengetahuan yang dimiliki, atau malah sebaliknya. 


Jadi, pakai metode yang mana?

Prof. Aswath Damodaran

Seperti kata Profesor Damodaran, "A good valuation is more about the story than about the numbers". Jadi apa pun caranya, valuasi yang bagus dihasilkan dari pemahaman narasi daripada sekedar angka-angka. Setiap jenis metode valuasi diatas dapat kita gunakan dan diantara mereka tidak ada yang paling sempurna. Metode yang mana anda pilih tergantung aset yang anda nilai dan karakter anda sendiri sebagai investornya. 

Jika karakter asetnya menurut anda lebih akurat dan mudah dihitung dengan DCF maka silahkan perhatikan asumsi-asumsi yang dimasukkan agar lebih reliable. Jangan memaksakan menghitung menggunakan DCF jika anda tidak paham asumsi yang anda berikan dan tidak bisa memprediksi arus kas dimasa depan. 

Begitupula dengan karakter penilainya, jika ia hanya mampu mencerna valuasi secara relatif, maka silahkan pelajari emiten tersebut dan industrinya agar multiple yang anda inginkan cukup rasional. Hanya karena metode yang anda gunakan lebih sederhana, belum tentu anda menghasilkan imbal hasil yang lebih rendah juga. Sementara itu jika anda seorang analis di perusahaan investasi, hampir bisa dipastikan anda memiliki kemampuan, sumber daya data dan informasi yang cukup maka lebih baik anda melakukan valuasi dengan metode DCF.


Demikian pembahasan saya mengenai cara memilih metode valuasi saham. Semua saham yang tersebut dalam artikel ini hanya sekedar ilustrasi dan bukan berarti rekomendasi beli atau jual. Saya hanya berbagi ilmu dan pengalaman yang diperoleh selama ini. Saya sendiri belum memiliki sertifikasi atau belum menempuh pendidikan formil dibidang keuangan/finance. Jika anda ingin berdiskusi atau ada pernyataan saya yang keliru, silahkan beri masukan di kolom komentar. Terima kasih.



Tidak ada komentar